22 Desember 2009

Kloset Jongkok Lebih Baik buat Kesehatan

KOMPAS.com — Gangguan fungsi kemih sebenarnya bisa dikurangi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengurangi konsumsi minuman yang mengandung kafein, alkohol, serta obat-obatan.

"Kafein memiliki zat yang dapat memacu detak jantung serta meningkatkan produksi urine," kata Mulyadi Tedjapranata, dokter Klinik Medizone di Apartemen Taman Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Mulyadi, upaya pencegahan gangguan kemih sejatinya bisa dilakukan sedini mungkin. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah membiasakan untuk tidak menahan keinginan untuk buang air kecil. Bagi anak-anak, melakukan latihan buang air kecil atau toileting assistance bahkan sudah harus dilakukan sejak anak-anak berusia di bawah lima tahun atau balita.

Cara lain yang efektif adalah menghindari penggunaan kloset duduk. Penggunaan kloset duduk dalam jangka panjang akan memperbesar risiko terjadi infeksi saluran kencing yang bisa menyebabkan terjadinya gangguan berkemih. Pasalnya, permukaan toilet umumnya menjadi perantara penyebaran kuman. Penggunaan toilet jongkok justru lebih baik.

Pasalnya, ini akan membuat pengguna tidak bersentuhan langsung dengan permukaan toilet sehingga lebih higienis. "Apalagi, jika kerap memakai fasilitas toilet umum, toilet jongkok lebih baik," ujar dia.

Tak hanya itu, penggunaan kloset duduk juga membuat otot saluran kencing bekerja lebih keras saat mengejang atau mengeluarkan urine. Dalam tahap ringan, infeksi saluran kemih biasanya ditandai dengan anyang-anyangan atau keluarnya air seni yang tak tuntas, sakit perut bagian bawah, serta rasa sakit saat akhir buang air kecil.

Kondisi ini tentu mengganggu aktivitas kita. Bahkan, kalau dibiarkan berlarut, ini bisa menimbulkan infeksi pada saluran kencing, gangguan psikososial seperti depresi dan gangguan tidur. (KONTAN/Herlina Kartika Dewi)

Selengkapnya...

24 November 2009

Fenomena Koruptor Religius

Oleh: Anita Retno Lestari *)
*ADA* fakta ganjil yang sudah lama berlangsung di Indonesia: agama sering menjadi selimut atau topeng untuk me¬nutupi tindakan korupsi. Misalnya, kaum koruptor tampak rajin melaksanakan ritual agama dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat sekitarnya seperti menyelenggarakan acara doa bersama atau acara syukuran.
Bahkan, ketika membangun rumah, banyak koruptor yang tidak lupa membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggalnya. Jika dicermati lebih serius, tidak ada koruptor di Indonesia yang tidak beragama. Karena itu, ada pertanyaan yang layak diutarakan: kenapa seseorang bisa menjadi koruptor sekaligus rajin beribadah? Adakah hubungan antara agama dan korupsi?

*Kamuflase *
Bagi kaum moralis, fenomena koruptor yang rajin beribadah mungkin akan dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Dalam hal ini, para ko¬ruptor sengaja memfungsikan agama se¬bagai kamuflase atas kejahatannya. Tentu saja, fenomena demikian bukan hal yang aneh dan baru dalam sejarah agama-agama.
Seperti dalam Islam, sejak awal ma¬sa perkembangannya, stigma munafik te¬lah diperkenalkan. Stigma itu diberi¬kan kepada orang yang sengaja mem¬fung¬sikan Islam hanya sebagai kamu¬fla¬se. Dalam Islam, orang munafik di¬anggap musuh paling berbahaya ba¬gi kaum muslimin. Ibarat musuh dalam sa¬tu selimut yang selalu siap mencela¬ka¬¬kan kapan saja. Dengan demikian, da¬lam Alquran maupun hadis, banyak disebutkan bahwa
kaum munafik ada¬lah kaum yang sangat dikutuk oleh Allah SAW.
Jika faktanya sekarang di Indonesia banyak koruptor yang beragama Islam, agaknya layak diduga, mereka tergolong kaum munafik. Bila mereka per¬nah atau sedang menjadi pejabat-pejabat penting, bangsa dan negara Indonesia, sepertinya, juga layak ditengarai se¬bagai ikut-ikutan terkutuk, dengan bukti seringnya terjadi bencana atau tra¬gedi kemanusiaan.
Banyaknya fakta bahwa para koruptor rajin beribadah, khususnya
menga¬da¬kan acara doa bersama atau acara syukuran, ada kesan bahwa para pemuka agama seolah-olah ikut mengamini tindakan korupsi. Kesan tersebut bisa saja menyakitkan, tapi agaknya tetap layak diungkapkan. Sebab, itu didukung fakta yang cenderung semakin fenomenal.
Fenomena memfungsikan agama sebagai kamuflase serta kemunafikan para
koruptor sering sangat mudah dilihat setiap menjelang kampanye pe¬milu (dan belakangan pilkada). Misalnya, betapa banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lom¬ ba merangkul pemuka-pemuka agama. Betapa banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lomba memberikan sumbangan dana pembangunan fasilitas peribadatan atau sarana pendidikan agama. Dalam hal ini, semua pe¬muka agama justru gembira (dan tidak ada yang keberatan atau sekadar mengkritik perilaku munafik).
Karena itu, wajar-wajar saja jika ada yang bilang bahwa pemuka-pemuka agama sekarang akan senang-senang saja menerima sumbangan dana meski si pemberi jelas-jelas seorang koruptor!

*Kontradiksi *
Beberapa tahun lalu, dari lingkungan sebuah organisasi keagamaan, muncul fatwa bahwa koruptor yang meninggal dunia tidak wajib disalati. Pasalnya, koruptor identik dengan munafik. Fatwa demikian selayaknya menjadi otokritik. Sebab, selama ini banyak koruptor yang gemar mendatangi kiai-kiai untuk memberikan sumbangan dana pembangunan masjid dan pondok pesantren. Mereka bermaksud mendapatkan dukungan politik dari kiai dan pengikut mereka.
Adanya fatwa dan perilaku kemunafikan tersebut tentu saja merupakan kontradiksi yang bisa saja akan membingungkan masyarakat awam. Bagaimana mungkin pemuka agama bisa akur dengan koruptor?
Dengan demikian, agaknya, juga perlu segera ada fatwa baru untuk menjelaskan kontradiksi tersebut, agar ke depan tidak semakin membingungkan masyarakat awam. Sejauh ini, kontradiksi itu memang belum pernah dikaji secara serius oleh komunitas-komunitas keagamaan di Indonesia. Bahkan, belum ada pemuka agama yang mempersoalkan kontradiksi tersebut secara terbuka. Dengan begitu, hal ini pun kemudian mengundang pertanyaan baru: benarkah telah terjadi kompromi antara koruptor dan
kalangan pemuka agama, karena sebagian hasil korupsi digunakan untuk mendanai kepentingan pengembangan agama?

*Revitalisasi Agama *
Fenomena semakin merajalelanya korupsi cenderung dibiarkan oleh pemuka-pemuka agama karena, sepertinya, telanjur dianggap bukan masalah yang perlu dipersoalkan lagi. Jika kini sejumlah perangkat hukum yang ada tidak bisa memberantasnya, sepertinya, perlu dilakukan upaya-upaya alternatif. Misalnya, melakukan revitalisasi agama oleh kalangan pemuka agama. Langkah-langkahnya sebagai berikut. Pertama, memandirikan semua organisasi keagamaan di Indonesia dengan menerapkan sikap tegas untuk tidak menerima sumbangan dana dari pihak-pihak yang terindikasi korup.
Kedua, pemuka-pemuka agama menolak terlibat dalam politik praktis dengan cara tidak bergabung atau sekadar bersimpati kepada kekuatan politik yang korup. Dalam hal ini, pada saat menjelang pemilu atau pilkada, pemuka agama harus netral dan tidak mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang menguntungkan para koruptor.
Ketiga, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap indikasi-indikasi korupsi agar tidak memberikan dukungan politik kepada siapa pun yang terindikasi korup.
Keempat, pemuka agama serta umat beragama segera memutuskan hubungan dengan semua pejabat negara yang terindikasi korup. Dalam hal ini, menolak tegas undangan doa bersama atau acara syukuran yang diselenggarakan oleh pejabat negara yang terindikasi korup. Dengan cara demikian, ada kemungkinan kaum koruptor tidak semakin ugal-ugalan
menjadikan agama sebagai kamuflase.
Dengan revitalisasi agama, fenomena koruptor tampak religius yang identik dengan merajalelanya kaum munafik dalam melakukan korupsi berjamaah mungkin akan segera dapat dikikis habis. (*)

*) Anita Retno Lestari, direktur Lembaga Studi Humaniora


Selengkapnya...

13 November 2009

Peraturan Menteri tentang UN 2009/2010

Berikut adalah salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang pelaksanaan UASBN dan UN tahun pelajaran 2009-2010 beserta lampiran yang memuat Kisi-kisi Soal UASBN dan UN tahun pelajaran 2009-2010

1. Permendiknas No. 74 tahun 2009, Tentang UASBN SD/MI/SDLB TAHUN 2009-2010
2. Permendiknas No. 75 tahun 2009, Tentang UN SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/ SMK TAHUN
2009-2010
3. Permendiknas No. 76 tahun 2009, Tentang UN PAKET C KEJURUAN Tahun 2009
4. Permendiknas No. 77 tahun 2009, Tentang UN PROGRAM PAKET A, PAKET B, PAKET C DAN
PROGRAM PAKET C KEJURUAN TAHUN 2010
Selengkapnya...

09 Juni 2009

Susu Sapi Bukan Untuk Manusia

Tidak ada makhluk di dunia ini yang ketika sudah dewasa masih minum susu -kecuali manusia. Lihatlah sapi, kambing, kerbau, atau apa pun: begitu sudah tidak anak-anak lagi tidak akan minum susu. Mengapa manusia seperti menyalahi perilaku yang alami seperti itu?

"Itu gara-gara pabrik susu yang terus mengiklankan produknya," ujar Prof Dr Hiromi Shinya, penulis buku yang sangat laris: The Miracle of Enzyme (Keajaiban Enzim) yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama. Padahal, katanya, susu sapi adalah makanan/minuman paling buruk untuk manusia. Manusia seharusnya hanya minum susu manusia. Sebagaimana anak sapi yang juga hanya minum susu sapi. Mana ada anak sapi minum susu manusia, katanya.


Mengapa susu paling jelek untuk manusia? Bahkan, katanya, bisa menjadi penyebab osteoporosis? Jawabnya: karena susu itu benda cair sehingga ketika masuk mulut langsung mengalir ke kerongkongan. Tidak sempat berinteraksi dengan enzim yang diproduksi mulut kita. Akibat tidak bercampur enzim, tugas usus semakin berat. Begitu sampai di usus, susu tersebut langsung menggumpal dan sulit sekali dicerna. Untuk bisa mencernanya, tubuh terpaksa mengeluarkan cadangan "enzim induk" yang seharusnya lebih baik dihemat. Enzim induk itu mestinya untuk pertumbuhan tubuh, termasuk pertumbuhan tulang. Namun, karena enzim induk terlalu banyak dipakai untuk membantu mencerna susu, peminum susu akan lebih mudah terkena osteoporosis.

Profesor Hiromi tentu tidak hanya mencari sensasi. Dia ahli usus terkemuka di dunia. Dialah dokter pertama di dunia yang melakukan operasi polip dan tumor di usus tanpa harus membedah perut. Dia kini sudah berumur 70 tahun. Berarti dia sudah sangat berpengalaman menjalani praktik kedokteran. Dia sudah memeriksa keadaan usus bagian dalam lebih dari 300.000 manusia Amerika dan Jepang. Dia memang orang Amerika kelahiran Jepang yang selama karirnya sebagai dokter terus mondar-mandir di antara dua negara itu.

Setiap memeriksa usus pasiennya, Prof Hiromi sekalian melakukan penelitian. Yakni, untuk mengetahui kaitan wujud dalamnya usus dengan kebiasaan makan dan minum pasiennya. Dia menjadi hafal pasien yang ususnya berantakan pasti yang makan atau minumnya tidak bermutu. Dan, yang dia sebut tidak bermutu itu antara lain susu dan daging.

Dia melihat alangkah mengerikannya bentuk usus orang yang biasa makan makanan/minuman yang "jelek": benjol-benjol, luka-luka, bisul-bisul, bercak-bercak hitam, dan menyempit di sana-sini seperti diikat dengan karet gelang. Jelek di situ berarti tidak memenuhi syarat yang diinginkan usus. Sedangkan usus orang yang makanannya sehat/baik, digambarkannya sangat bagus, bintik-bintik rata, kemerahan, dan segar.

Karena tugas usus adalah menyerap makanan, tugas itu tidak bisa dia lakukan kalau makanan yang masuk tidak memenuhi syarat si usus. Bukan saja ususnya kecapean, juga sari makanan yang diserap pun tidak banyak. Akibatnya, pertumbuhan sel-sel tubuh kurang baik, daya tahan tubuh sangat jelek, sel radikal bebas bermunculan, penyakit timbul, dan kulit cepat menua. Bahkan, makanan yang tidak berserat seperti daging, bisa menyisakan kotoran yang menempel di dinding usus: menjadi tinja stagnan yang kemudian membusuk dan menimbulkan penyakit lagi.

Karena itu, Prof Hiromi tidak merekomendasikan daging sebagai makanan. Dia hanya menganjurkan makan daging itu cukup 15 persen dari seluruh makanan yang masuk ke perut.

Dia mengambil contoh yang sangat menarik, meski di bagian ini saya rasa, keilmiahannya kurang bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, dia minta kita menyadari berapakah jumlah gigi taring kita, yang tugasnya mengoyak-ngoyak makanan seperti daging: hanya 15 persen dari seluruh gigi kita. Itu berarti bahwa alam hanya menyediakan infrastruktur untuk makan daging 15 persen dari seluruh makanan yang kita perlukan.

Dia juga menyebut contoh harimau yang hanya makan daging. Larinya memang kencang, tapi hanya untuk menit-menit awal. Ketika diajak "lomba lari" oleh mangsanya, harimau akan cepat kehabisan tenaga. Berbeda dengan kuda yang tidak makan daging. Ketahanan larinya lebih hebat.

Di samping pemilihan makanan, Prof Hiromi mempersoalkan cara makan. Makanan itu, katanya, harus dikunyah minimal 30 kali. Bahkan, untuk makanan yang agak keras harus sampai 70 kali. Bukan saja bisa lebih lembut, yang lebih penting agar di mulut makanan bisa bercampur dengan enzim secara sempurna. Demikian juga kebiasaan minum setelah makan bukanlah kebiasaan yang baik. Minum itu, tulisnya, sebaiknya setengah jam sebelum makan. Agar air sudah sempat diserap usus lebih dulu.

Bagaimana kalau makanannya seret masuk tenggorokan? Nah, ini dia, ketahuan. Berarti mengunyahnya kurang dari 30 kali! Dia juga menganjurkan agar setelah makan sebaiknya jangan tidur sebelum empat atau lima jam kemudian. Tidur itu, tulisnya, harus dalam keadaan perut kosong. Kalau semua teorinya diterapkan, orang bukan saja lebih sehat, tapi juga panjang umur, awet muda, dan tidak akan gembrot.

Yang paling mendasar dari teorinya adalah: setiap tubuh manusia sudah diberi "modal" oleh alam bernama enzim-induk dalam jumlah tertentu yang tersimpan di dalam "lumbung enzim-induk". Enzim-induk ini setiap hari dikeluarkan dari "lumbung"-nya untuk diubah menjadi berbagai macam enzim sesuai keperluan hari itu. Semakin jelek kualitas makanan yang masuk ke perut, semakin boros menguras lumbung enzim-induk. Mati, menurut dia, adalah habisnya enzim di lumbung masing-masing.

Maka untuk bisa berumur panjang, awet muda, tidak pernah sakit, dan langsing haruslah menghemat enzim-induk itu. Bahkan, kalau bisa ditambah dengan cara selalu makan makanan segar. Ada yang menarik dalam hal makanan segar ini. Semua makanan (mentah maupun yang sudah dimasak) yang sudah lama terkena udara akan mengalami oksidasi. Dia memberi contoh besi yang kalau lama dibiarkan di udara terbuka mengalami karatan. Bahan makanan pun demikian.

Apalagi kalau makanan itu digoreng dengan minyak. Minyaknya sendiri sudah persoalan, apalagi kalau minyak itu sudah teroksidasi. Karena itu, kalau makan makanan yang digoreng saja sudah kurang baik, akan lebih parah kalau makanan itu sudah lama dibiarkan di udara terbuka. Minyak yang oksidasi, katanya, sangat bahaya bagi usus. Maksudnya, mengolah makanan seperti itu memerlukan enzim yang banyak.

Apa saja makanan yang direkomendasikan? Sayur, biji-bijian, dan buah. Jangan terlalu banyak makan makanan yang berprotein. Protein yang melebihi keperluan tubuh ternyata tidak bisa disimpan. Protein itu harus dibuang. Membuangnya pun memerlukan kekuatan yang ujung-ujungnya juga berasal dari lumbung enzim. Untuk apa makan berlebih kalau untuk mengolah makanan itu harus menguras enzim dan untuk membuang kelebihannya juga harus menguras lumbung enzim.

Prof Hiromi sendiri secara konsekuen menjalani prinsip hidup seperti itu dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, umurnya sudah 70 tahun, tapi belum pernah sakit. Penampilannya seperti 15 tahun lebih muda. Tentu sesekali dia juga makan makanan yang di luar itu. Sebab, sesekali saja tidak apa-apa. Menurunnya kualitas usus terjadi karena makanan "jelek" itu masuk ke dalamnya secara terus-menerus atau terlalu sering.

Terhadap pasiennya, Prof Hiromi juga menerapkan "pengobatan" seperti itu. Pasien-pasien penyakit usus, termasuk kanker usus, banyak dia selesaikan dengan "pengobatan" alamiah tersebut. Pasiennya yang sudah gawat dia minta mengikuti cara hidup sehat seperti itu dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter, katanya, banyak melihat pasien hanya dari satu sisi di bidang sakitnya itu. Jarang dokter yang mau melihatnya melalui sistem tubuh secara keseluruhan. Dokter jantung hanya fokus ke jantung. Padahal, penyebab pokoknya bisa jadi justru di usus. Demikian juga dokter-dokter spesialis lain. Pendidikan dokter spesialislah yang menghancurkan ilmu kedokteran yang sesungguhnya.

Saya mencoba mengikuti saran buku ini sebulan terakhir ini. Tapi, baru bisa 50 persennya. Entah, persentase itu akan bisa naik atau justru turun lagi sebulan ke depan.

Yang menggembirakan dari buku Prof Hiromi ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya sudah senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim-induk bertambah. Nah..... gan pei!
sumber:
http://batampos.co.id/Kolom/Catatan_Dahlan_Iskan/Susu_Sapi_Bukan_untuk_Manusia_.html
Selengkapnya...

21 Maret 2009

Sekolah Bertaraf Internasional

Tulisan Berikut dikutip dari Tanggapan Tulisan Pak Satria Dharma
(http://satriadharma.wordpress.com/2007/09/19/sekolah-bertaraf-internasional-quo-vadiz/#more-49)


Salam Hormat untuk Pak Satria, saya suka dengan tulisan-tulisan Bapak yang kritis tentang pendidikan di Indonesia. Saya salah seorang pendidik yang bekerja di sekolah bertaraf internasional yang menggunakan kurikulum IB. Saya terlibat dalam pergumulan dan permenungan yang cukup lama sebelum memutuskan kurikulum apa yang akan ditambahkan ke dalam kurikulum nasional kita sehingga bisa menggali potensi anak didik dan menjadikan mereka individu yang siap dan mandiri untuk hidup di masyarakat. Kami akhirnya memutuskan untuk menggunakan kurikulum IB. Banyak tantangan yang kami hadapi terutama cara pandang orang tua murid yang sudah terbentuk untuk selalu memperhatikan nilai test/hasil akhir tanpa menghargai proses. Kami pun perlu mengadakan beberapa kali sesi untuk bisa mengubah cara pandang orang tua tentang pembelajaran yang menempatkan anak sebagai subyek pembelajaran, juga pembelajaran yang melibatkan orang tua berperan aktif.


Tantangan lain yang kami hadapi adalah merekrut pendidik yang tepat untuk kurikulum yang kami tawarkan. Hanya beberapa orang guru saja dari ratusan guru yang melamar di sekolah kami yang benar-benar berkualitas tepat untuk mengajar dengan bahasa Inggris sebagai media komunikasi. Saya juga prihatin dengan kualitas guru-guru yang dihasilkan dari perguruan tinggi/FKIP yang tidak sesuai dengan IP yang ada di sertifikatnya. Bagaimana mungkin seseorang dengan IP lebih dari 3 berpredikat Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris namun setelah di tes dalam seleksi perekrutan menjawab ” Maaf Bahasa Inggris saya belum fasih, makanya saya ingin melancarkan bahasa Inggris saya dengan mengajar.” Langsung si pelamar tersebut kami minta untuk pulang dan memperdalam bahasa Inggrisnya sebelum melamar lagi untuk menjadi guru bahasa Inggris.

Untuk guru-guru yang baru lulus dan bekerja pada sekolah kami, training adalah hal wajib pertama yang harus mereka jalani. Selama 3 minggu penuh mereka mengikuti training awal di sekolah kami sehingga mereka siap untuk memulai hari pertama dan hari-hari selanjutnya mengajar anak-anak didik. Training berkala pun diadakan untuk membuat para guru tahu bagaimana cara pembelajaran terkini yang harus mereka kuasai dan transferkan ke anak didik.
Sejak awal didirikan sekolah kami memang sudah memutuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris sebagai media komunikasi selain Bahasa Indonesia. Sehingga Bahasa Inggris adalah syarat mutlak bagi para guru yang kami rekrut.

Dari pengalaman yang saya alami lebih mudah mengajar anak balita berbahasa Inggris daripada mengajar orang dewasa untuk menguasai bahasa Inggris. Susah sekali untuk menjadikan orang dewasa yang tidak berbahasa Inggris sama sekali untuk menguasai bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari apalagi untuk meminta mereka untuk mentransfer konsep pengajaran dalam bahasa Inggris.

Jadi untuk mengubah guru yang tidak berbahasa Inggris untuk mengajar dalam bahasa Inggris dengan mengirimkan mereka ke institusi/kursus bahasa Inggris yang terbaik sekalipun menurut saya adalah HIL yang MUSTAHAL. Ini menyangkut teori otak juga dimana Bahasa akan mudah dipelajari oleh otak dari usia dini 0-6 tahun. Di usia 6-12 untuk mempelajari suatu bahasa akan memakan waktu lebih lama dan sulit, sedangkan diatas 12 tahun lebih sulit lagi untuk menguasai suatu bahasa.

Saya setuju dengan bapak tentang kekhawatiran bapak dengan keberhasilan sekolah rintisan bertaraf internasional karena para pengajarnya yang belum dipersiapkan secara hati-hati.
Sekolah kami memerlukan waktu 5 tahun untuk mendapatkan otorisasi dari International Baccalaureate Organization untuk Primary Years Programme (untuk anak usia 3-12 tahun).

Salam
Yustina Ries


Selengkapnya...

07 Maret 2009

Posisi dan Pencahayaan Saat Mengoperasikan Komputer

Posisi tangan saat mengoperasikan Keyboard


Posisi Tangan Saat Pegang Mouse



Posisi Duduk dan Cara Duduk yang Benar

Selengkapnya...